A. Zakat dalam
Ketatanegaraan Islam
Dalam
khazanah pemikiran hukum Islam, terdapat beberapa pandangan seputar kewenangan
pengelolaan zakat oleh negara. Ada yang berpendapat zakat baru boleh dikelola
oleh negara yang berasaskan Islam, tetapi ada juga yang berpendapat lain
mengatakan pada prinsipnya zakat harus diserahkan kepada amil terlepas dari
persoalan apakah amil itu ditunjuk oleh negara atau amil yang bekerja secara
independen di dalam masyarakat muslim itu sendiri. Pendapat lainnya,
pengumpulan zakat dapat dilakukan oleh badan-badan hukum swasta di bawah
pengawasan pemerintah, bahkan terdapat pula pandangan bahwa zakat merupakan
kewajiban individu seorang muslim yang harus ia tunaikan tanpa perlu campur
tangan pemerintah, dalam arti untuk melaksana-kannya menjadi kesadaran
individu.
Jika digali dari
sejarah zakat dan pajak pada zaman Rasulullah saw. dan pemerintah Islam
periode awal, pemerintah menangani secara langsung pengumpulan dan
pendistribusian zakat dengan mandat kekuasaan. Pengelolaan zakat dilakukan
olehwaliyul ‘amr yang dalam konteks ini adalah pemerintah, sebagaimana
perintah Allah dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah :103.
Èe@|¹ur
103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
[658]
Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda
[659]
Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.
Perintah memungutnya
ditujukan oleh Allah Swt. kepada setiap ulil amri. Dengan dasar ayat
tersebut para fuqaha menyimpulkan bahwa kewenangan untuk melakukan pengambilan
zakat dengan kekuatan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.[1]
Pernyataan al-Qur’an
bahwa kekayaan tidak boleh beredar hanya di kalangan golongan kaya dalam
masyarakat, tetapi harus beredar dalam seluruh masyarakat untuk kepentingan
keadilan sosial dan ekonomis, sebagaimana (Q.S Al-Hasyr : 7). Ayat
tersebut merupakan petunjuk umum yang salah satu pengejewantahan hukumnya
adalah institusi zakat yang diundangkan oleh Nabi sendiri . Selanjutnya
siapa-siapa yang berhak menerimanya pun telah disebutkan dalam QS
At-Taubah : 60.
Suatu fakta sejarah
bahwa pada masa awal Islam zakat mempunyai kedudukan utama dalam kebijakan fiskal[2].
Di samping sebagai sumber pendapatan negara Islam, zakat juga menunjang
pengeluaran negara dan juga mampu mempengaruhi kebijakan ekonomi
pemerintah Islam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama kaum lemah
atau kaum dhu’afa.
Menurut Syafii Antonio
salah satu faktor kemunduran pemerintahan Islam mulai terjadi ketika zakat
terpisah dari kebijakan fiskal negara dan menjadi urusan masing-masing pribadi
muslim. Sistem kekhalifahan yang merakyat dan lebih modern diganti dengan
sistem monarkhi. Sumber-sumber pendapatan negara pun disesuaikan dengan yang
dianut oleh kerajaan-kerajaan lainnya terutama dari sektor pajak atau bahkan
upeti. Penggunaannya pun semakin jauh dari ruh zakat itu sendiri. [3]
Para penguasa dan
fuqaha sepanjang abad pertengahan tidak mempertautkan petunjuk umum
al-Qur’an tentang dasar-dasar keadilan sosial dan ekonomis masyarakat
dengan institusi zakat. Oleh karena itu prinsip sosio-ekonomis melalui
institusi zakat tidak dilegislasikan dan diimplementasikan dalam suatu sistem
kehidupan ekonomi masyarakat muslim. [4]
Dalam perkembangan
selanjutnya zakat bahkan dibatasi untuk bantuan dana bagi fakir miskin, padahal
dalam surah at-Taubah : 60 Al-Qur’an mencakupkan seluruh kebutuhan dana sebuah
negara modern. Karena itu pula zakat tidak dijadikan model solusi yang spesifik
dalam menangani problematika masyarakat muslim.
Seiring dengan perkembangan
sistem pemerintahan di wilayah-wilayah Islam, pengelolaan zakat di berbagai
negara Islam dewasa memiliki bermacam bentuk, ada yang dikelola oleh
pemerintah, ada yang dikelola oleh masyarakat langsung, serta ada yang dikelola
oleh lembaga yang dibentuk masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. Keragaman
tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah pengelolaan
zakat.
B. Perkembangan
Pemahaman Konsep Zakat di Indonesia
Sebagai sebuah negara
yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, persoalan zakat pun menjadi
tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Sejarah
perkembangan zakat di Indonesia mengalami jalan panjang hingga saat ini. Sejak
Islam masuk di Indonesia, secara otomatis ajaran zakatpun berakumulasi dengan
kehidupan masyarakat.
Sebelum tahun 1990-an,
dunia perzakatan di Indonesia memiliki beberapa ciri khas, antara lain :
1. Pada umumnya
diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahiq tanpa
melalui amil zakat.
Keadaan seperti ini
disebabkan antara lain karena belum tumbuhnya lembaga pemungut zakat, kecuali
di beberapa daerah tertentu, misalnya BAZIZ (Badan Amil Zakat, Infaq dan
Shadaqah) DKI. Di daerah yang tidak ada BAZIZ umumnya muzakkilangsung
memberikannya kepada mustahiq. Pemahaman tentang zakatpun masih sederhana,
yakni sebatas kewajiban ibadah murni yang harus dikeluarkan tanpa perlu
menghubung-hubungkan dengan pemecahan berbagai problematika seperti kemiskinan.
2. Jika pun melalui
‘amil zakat hanya terbatas pada zakat fitrah
Keadaan seperti ini
tampak misalnya ketika memasuki Bulan Ramadhan atau hanya beberapa saat sebelum
lebaran di mesjid-mesjid, mushalla, secara dadakan dibentuk amil zakat untuk
menerimakan zakat fitrah yang dikeluarkan oleh masyarakat di sekitar mesjid
atau mushalla. Bahkan itupun masih terdapat anggota masyarakat yang
berpandangan lebih afdhal kalau menyerahkan langsung zakat fitrahnya
kemuzakki tanpa melalui amil zakat.
3. Zakat yang
diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat
Pada saat itu amil
bertugas menerima dan membagi zakat belum bersifat mengelola, sehingga tidak
terlalu dibutuhkan tuntutan profesionalitas. Maka amil hanyalah menjadi profesi
sambilan. Keadaan seperti ini di dukung oleh cara pandang masyarakat ketika itu
yang umumnya bersifat konsumtif dan dapat pula menjadi indikator lemahnya
kepercayaan masyarakat kepada ‘amil zakat.
4. Harta obyek zakat
hanya terbatas.
Obyek zakat ketika itu
terbatas pada harta-harta yang eksplisit dikemukakan secara rinci dalam
Al-Qur’an maupun Hadits Nabi, yaitu emas perak, pertanian (terbatas pada
tanaman yang menghasilkan makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi,
kambing/domba), perdagangan (terbatas pada komoditas-komoditas yang berbentuk
barang), dan rikaz (harta temuan). Ini diakibatkan masih lemahnya sosialisasi
tentang zakat, baik yang berkaitan dengan hikmah, urgensi dan tujuan zakat,
tata cara pelaksanaan zakat, harta obyek zakat, maupun kaitan zakat dengan
peningkatan kegiatan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat masih sangat
jarang dilakukan.
Menurut Didin
Hafiduddin[5],
keadaan dunia perzakatan di tanah air setelah tahun 1990-an terjadi perubahan
signifikan, yakni setelah terbitnya buku Fiqh al-Zakat yang ditulis
oleh Yusuf Al-Qaradhawi. Buku tersebut berisikan penjelasan zakat secara
komprehensif ditulis tahun 1389 H/1969 M, diterbitkan oleh Muassasah
Ar-Risalah, Beirut dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Salman
Harun, Hasanuddin dan Didin Hafiduddin, diterbitkan pertama kali tahun 1988,
oleh PT. Pustaka Litera Antar Nusa bekerjasama dengan BAZIZ DKI.
Yang paling menonjol
dalam buku tersebut adalah tentang harta obyek zakat yang mencakup semua harta
maupun penghasilan / pendapatan yang dimiliki oleh setiap muslim yang mencakup
seluruh bidang pekerjaan yang halal yang apabila telah mencapai nishab, maka
wajib dikeluarkan zakatnya. Termasuk di dalamnya penghasilan yang didapatkan
melalui keahlian tertentu secara perorangan maupun bersama-sama, atau yang
sering disebut dengan zakat profesi (mihnah). Misalnya, dokter, ahli hukum,
arsitek, dosen / guru, penjahit, karyawan maupun lainnya. Termasuk pula pada
obyek zakat perusahaan yang dikelola oleh seorang muslim atau bersama-sama.[6]
Hal lain yang menonjol
yang dikemukakan dalam buku Fiqh Zakat tersebut adalah bahwa zakat
itu harus dikelola oleh amil (lembaga) yang profesional, amanah, bertanggungjawab,
memiliki pengetahuan memadai tentang zakat, memiliki waktu yang cukup untuk
mengelolanya (misalnya untuk melakukan sosialisasi,
pendataanmuzakki dan mustahiq, dan penyaluran yang tepat
sasaran, serta pelaporan yang transparan[7].
C. Pengelolaan Zakat
dalam Perspektif Peran Negara
Sejak tahun 1990-an
zakat yang merupakan salah satu instrumental Islam yang strategis dalam
pembangunan ekonomi semakin populer di Indonesia. Indikasi positif ini selain
disebabkan oleh kesadaran menjalankan perintah agama di kalangan umat Islam
semakin meningkat dan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan
setelah itu dorongan untuk membayar zakat juga datang dari pemerintah dengan
dikeluarkannya perangkat perundang-undangan berupa UU No. 38 Tahun 1999 tentang
pengelolaan Zakat.
Sebenarnya gerakan
zakat di tanah air sudah menjadi isu nasional pada era pemerintahan Presiden
Soeharto. Dalam peringatan isra mi’raj tanggal 26 Oktober 1968 di Istana Negara
menyampaikan bahwa sebagai pribadi ia bersedia untuk mengurus pengumpulan zakat
secara besar-besaran, mengumumkan penerimaan dan mempertanggung jawabkan
penggunaannya. Dalam berbagai kesempatan Presiden Soeharto mengulangi kembali
ajakannya kepada umat Islam untuk menumpulkan zakat. Ketika pada tahun 1967 RUU
Zakat akan dimajukan ke DPR, menteri Keuangan Frans Seda waktu itu menjawab
secara tertulis kepada menteri agama bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu
dituangkan dalam undang-undang, tetapi cukup dengan peraturan menteri saja.
Tidak lama setelah keluarnya Peraturan Menteri Agama tentang Pengumpulan dan
Pengelolaan Zakat, Presiden Soeharto mengumumkan kesediaan menjadi amil zakat
bagi umat Islam di Indonesia.
Ketika keinginan untuk
melibatkan pemerintah dalam pengumpulan zakat mengemuka dalam Rakernas MUI
tahun 1990, hal tersebut dikonsultasikan dengan Presiden Soeharto oleh Menteri
Agama Munawir Sjadzali, mengingat kepala negara dulu pernah bersedia menjadi
amil zakat, tetapi kurang mendapat respon secara luas dari umat Islam di tanah
air ketika itu.
Presiden Soeharto
tidak lagi bersedia menjadi amil, tetapi memberikan petunjuk agar pengelolaan
zakat diserahkan ke tiap-tiap Propinsi dengan melibatkan kepala daerah dalam
pengumpulan dan pengelolaan zakat sesuai prinsip otonomi daerah. Sedangkan
lembaga atau Badannya bersifat non pemerintah untuk menghindari dualisme di
dalam pengelolaan zakat dan pajak.
Pada periode
kepemimpinan empat Presiden pasca Soeharto, gerakan monumental zakat di tanah
air dapat dicatat sebagai berikut : (a) Presiden B. J. Habibie pada
tanggal 23 September 1999 atas persetujuan DPR telah mensahkan Undang-Undang
No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. (b) Presiden Abdurrahman Wahid
pada tanggal 17 Januari 2001 mengeluarkan Keputusan Presiden No. 8 Tahun
2001 tentang Badan Amil Zakat nasional (c) Presiden Megawati Soekarno Putri
pada tanggal 2 Desember 2001 melakukan pencanangan Gerakan Sadar Zakat dalam
acara peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid Istiqlal Jakarta. (d) Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 Oktober 2005 melakukan pencanangan Gerakan
Zakat Infak dan Shadaqah Nasional dan mengukuhkan Kepengurusan BAZNAS periode
2004-2007 di Istana Negara.[8]
Dari keterangan di
atas nampaknya Pemerintah setidaknya semasa dipimpin oleh lima orang presiden
menunjukkan peran yang besar dalam menggairahkan zakat di tanah air.
Untuk lebih memerinci
perkembangan kebijakan pemerintah dalam sejarah pengelolaan zakat di Indonesia,
terdapat beberapa tahapan sejarah yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum Kelahiran
UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
a. Pengelolan
Zakat di Masa Penjajahan
Zakat sebagai bagian
dari ajaran Islam wajib ditunaikan oleh umat Islam terutama yang mampu
(aghniya’), tentunya sudah diterapkan dan ditunaikan oleh umat Islam Indonesia
berbarengan dengan masuknya Islam ke Nusantara. Kemudian ketika Indonesia dikuasai
oleh para penjajah, ara tokoh agama Islam tetap melakukan mobilisasi
pengumpulan zakat . Pada masa penjajahan Belanda, pelaksanaan ajaran Islam
(termasuk zakat) diatur dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200
tanggal 28 Pebruari 1905. Dalam pengaturan ini pemerintah tidak mencampuri
masalah pengelolaan zakat dan menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam dan
bentuk pelaksanaannya sesuai dengan syari’at Islam.
b. Pengelolan
Zakat di Awal Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan
Indonesia, pengelolaan zakat juga diatur pemerintah dan masih menjadi urusan
masyarakat. Kemudian pada tahun 1951 barulah Kementerian Agama mengeluarkan
Surat Edaran Nomor : A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan
Zakat Fithrah. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama hanya menggembirakan
dan menggiatkan masyarakat untuk menunaikan kewajibannya melakukan
pengawasan supaya pemakaian dan pembagiannya dari pungutan tadi dapat
berlangsung menurut hukum agama.[9]
Pada tahun 1964,
Kementerian Agama menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaksanaan
Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang
Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Bait al-Mal,
tetapi kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden.
2. Pengelolaan Zakat
di Masa Orde Baru
Pada masa orde baru,
Menteri Agama menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Zakat dan disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan surat Nomor :
MA/095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Dalam surat Menteri Agama tersebut disebutkan
antara lain :
“Mengenai rancangan
undang-undang zakat pada prinsipnya, oleh karena materinya mengenai hukum Islam
yang berlaku bagi agama Islam, maka diatur atau tidak diatur dengan undang-undang,
ketentuan hukum Islam tersebut harus berlaku bagi umat Islam, dalam hal mana
pemerintah wajib membantunya. Namun demikian, pemerintah berkewajiban moril
untuk meningkatkan manfaat dari pada penduduk Indonesia, maka inilah perlunya
diatur dalam undang-undang”.
Rancangan
Undang-Undang (RUU) tersebut disampaikan juga kepada Menteri Sosial selaku
penanggungjawab masalah-masalah sosial dan Menteri Keuangan selaku
pihak yang mempunyai kewenangan dan wewenang dalam bidang pemungutan.
Menteri Keuangan dalam jawabannya menyarankan agar masalah zakat ditetapkan
denga peraturan Menteri Agama. Kemudian pada tahun 1968 dikeluarkan Peraturan
Menteri Agama Nomor 5 tahun 1968 tentang pembentukan Bait al-Mal. Kedua PMA
(Peraturan Menteri Agama) ini mempunyai kaitan sangat erat, karena bait
al-malberfungsi sebagai penerima dan penampung zakat, dan kemudian disetor
kepada Badan Amil Zakat (BAZ) untuk disalurkan kepada yang berhak.
Pada tahun 1968
dikeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 tahun 1968 tentang Pembentukan
Badan Amil Zakat (BAZ). Pada tahun yang sama dikeluarkan juga PMA Nomor 5
tahun 1968 tentang Pembentukan Bait al-Mal. Bait al-Mal yang
dimaksud dalam PMA tersebut berstatus Yayasan dan bersifat semi resmi. PMA Nmor
4 tahun 1968 dan PMA Nomor 5 tahun 1968 mempunyai kaitan yang sangat erat. Bait
al-Mal itulah yang menampung dan menerima zakat yang disetorkan oleh Badan Amil
Zakat seperti dimaksud dalam PMA Nomor 4 Tahun 1968.
Pada tahun 1984
dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984
tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya
diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor
19/1984 tanggal 30 April 1984. Pada tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan
Instruksi Menteri Agama Nomor 16/1989 tentang Pembinaan Zaat, Infaq, dan
Shadaqah yang menugaskan semua jajaran Departemen Agama untuk membantu
lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan
shadaqah agar menggunakan dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan
lain-lain. Pada tahun 1991 dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama
dan Menteri dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan
Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah yang kemudian ditindaklanjuti dengan
instruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam
Negeri Nomor 7 tahun 1988 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq
dan Shadaqah.
3. Pengelolaan Zakat
di Era Reformasi
Pada era reformasi
tahun 1998, setelah menyusul runtuhnya kepemimpinan nasional Orde Baru, terjadi
kemajuan signifikan di bidang politik dan sosial kemasyarakatan. Setahun
setelah reformasi tersebut, yakni 1999 terbitlah Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Di era reformasi, pemerintah berupaya untuk
menyerpurnakan sistem pengelolaan zakat di tanah air agar potensi zakat dapat
dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi bangsa yang
terpuruk akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multi dimensi yang
melanda Indonesia. Untuk itulah pada tahun 1999, pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang pengelolaan Zakat, yang kemudian diikuti dengan dikeleluarkannya
Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam
dan Urusan Haji Nomor D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Zakat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 ini, pengelolaan zakat
dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh Pemerintah yang
terdiri dari masyarakat dan unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang
terhimpun dalam berbagai ormas (organisasi masyarakat) Islam, yayasan dan
institusi lainnya.
Dalam Undang-undang
Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan prinsip pengelolaan zakat secara profesional dan
bertanggungjawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Pemerintah dalam
hal ini berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada
muzakki, mustahiq, dn pengelola zakat.
Dari segi kelembagaan
tidak ada perubahan yang fundamental dibanding kondisi sebelum tahun 1970-an.
Pegelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh
pemerintah, tetapi kedudukan formal badan itu sendiri tidak terlalu jauh
berbeda dibanding masa lalu. Amil zakat tidak memiliki power untuk menyuruh
orang membayar zakat. Mereka tidak diregistrasi dan diatur oleh
pemerintah seperti halnya petugas pajak guna mewujudkan masyarakat yang
peduli bahwa zakat adalah kewajiban.
2. Pasca
Kelahiran Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999
Sebagaimana disebutkan
di atas, bahwa pada tahun 1999 terbit dan disahkannya Undang-Undang Pengelolaan
Zakat. Dengandemikian, maka pengelolaan zakat yang bersifat nasional semakin
intensif. Undang-undang inilah yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan
zakat di Indonesia, walaupun di dalam pasal-pasalnya masih terdapat berbagai
kekurangan dan kelemahan, seperti tidak adanya sanksi bagi muzakki yang tidak
mau atau enggan mengeluarkan zakat hartanya dan sebagainya.
Sebagai konsekuensi
Undang-undang Zakat, pemerintah (tingkat pusat sampai daerah) wajib
memfasilitasi terbentuknya lembaga pengelola zakat, yaitu Badan Amil
Zakat Nasional (Baznas) untuk tingkat Pusat dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA)
untuk tingkat Daerah. BAZNAS dibentuk berdasarkan Kepres Nomor 8 /2001, tanggal
17 Januari 2001.
Ruang lingkup BAZNAS
berskala Nasional yaitu unit pengumpul Zakat (UPZ) di Departemen, BUMN,
Konsulat Jenderal dan Badan Usaha Milim Swasta berskala nasional, sedangkan
BAZDA ruang lingkup kerjanya di wilayah propinsi tersebut.
Sesuai undang-undang
Pengelolaan Zaka, hubungan BAZNAS dengan Badan amil zakat yang lain
bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif. BAZNAS dan BAZDA-BAZDA
bekerjasama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang bersifat nasional maupun
daerah. Sehingga dengan demikian diharapkan bisa terbangun sebuah sitem
zakat Nasional yang baku, yan bisa diaplikasikan oleh semua pengelola zakat.
Dalam menjalankan
program kerjanya, BAZNAS mengunakan konsep sinergi, yaitu untuk pengumpulan ZIS
(Zakat, Infaq, Shadaqah) menggunakan hubungan kerjasama dengan unit pengumpul
zakat (UPZ) di Departemen, BUMN, Konjen, dan dengan lembaga amil zakat lainnya.
Pola kerjasama itu disebut dengan UPZ Mitra BAZNAS. Sedangkan untuk
penyalurannya, BAZNAS juga menggunakan pola sinergi dengaLembaga Amil Zakat
lainnya, yang disebut sebagai unit Salur Zakat (USZ) Mitra BAZNAS.
Dengan demikian, maka
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah melahirkan
paradigma baru pegelolaan zakat yang antara lain mengatur bahwa pengelolaan
zakat dilakukan oleh satu wadah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk
oleh pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya
dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan.
Dengan lahirnya
paradigma baru ini, maka semua Badan Amil Zakat harus segera menyesuaikan diri
dengan amanat Undang-Undang yakni pembentukannya berdasarkan kewilayahan
pemerintah Negara mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan
kecamatan. Sedangkan untuk desa/kelurahan, mesjid, lembaga pendidikan dan
lain-lain dibentuk unit pengumpul zakat. Sementara sebagai Lembaga Amil Zakat,
sesuai amanat undang-undang ersebut, diharuskan mendapat pengukuhan dari
pemerintah sebagai wujud peminaan, perlindungan dan pengawasan yang harus
diberikan pemerintah. Karena itu bagi Lembaga Amil Zakat yang telah terbentuk
di sejumlah Ormas Islam, yayasan atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dapat
mengajukan permohonan pengukuhan kepada pemerintah setelah memenuhi sejumlah
persyaratan yang ditentukan.
Dalam rangka
melaksanakan pengelolaan zakat sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 38
tahun 1999, pemerintah pada tahun 2001 membentuk Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) dengan Keputusan Presiden. Di setiap daerah juga ditetapkan
pembentukan Badan Amil Zakat Provinsi, Badan Amil Zakat Kabupaten/Kota hingga Badan
Amil Zakat Kecamatan. Pemerintah juga mengukuhkan keberadaan Lembaga Amil Zakat
(LAZ) yang didirikan oleh masyarakat. LAZ tersebut melakukan kegiatan
pengelolaan zakat sama seperti yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat.
Pembentukan Badan Amil Zakat di tingkat nasional dan daerah mengantikan
pengelolaan zakat oleh BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah) yang
sudah berjalan dihampir semua daerah.
D. Beberapa
Catatan sekitar UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Pasca dikeluarkannya
UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga-lembaga zakat pun
banyak bermunculan. Manajemen dan jaringan lembaga-lembaga itu diperbaiki dan
semakin baik sehingga dapat menjadi suatu gerakan tersendiri bagai
pemberdayaan ekonomi umat (masyarakat). Namun demikian, potensi zakat
yang sebenarnya menurut banyak kalangan belum dapat digali secara maksimal. Hal
demikian karena zakat masih dianggap sebagai sumbangan sukarela dan
negara tidak dapat memaksa para wajib zakat untuk membayarnya.
Hal tersebut harus
diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang
sangat mendasar, misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang
melalaikan kewajibannya (tidak mau berzakat. Selain ini permasalahan lain yang
masih menjadi kekurangan undang-undang tersebut antara lain sebagai
berikut :
1. Tidak memberikan
tanggungjawab atas amil zakat atau BAZ untuk bertindak dan bertanggungjawab
memungut zakat terhadap muzakki.
2. BAZ tidak
dibebankan tanggungjawab meneliti dan menghitung harta muzakki. Sedangkan
muzakki sama sekali tidak dibebankan sanksi dalam hal melanggar
ketentuan-ketentuan zakat.
3. Tidak ada mekanisme
yang jelas apabila muzakki membagi-bagi zakatnya kepada mustahiq, apakah perlu
memberikan bukti pembayaran zakat kepada BAZ, kemudian disahkan oleh BAZ
dan semestinya bisa digunakan sebagai bukti ketika membayar pajak, guna
mendapatkan pengurangan, sesuai dengan besar zakat yang telah dikeluarkan.
4. Dalam hal zakat
yang langsung dipotong oleh institusi dan tidak memberikan bukti setor zakat,
berpotensi merugikan muzakki bika tidak ada pengesahan dari BAZ.
Tetapi undang-undang
tersebut telah mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah,
kuat dan dipercaya oleh masyarakat.
Dalam Bab II Pasal 5
Undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan :
meningkatkan pelayanan
bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
Meningkatkan fungsi
dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan keadilan sosial.
Meningkatkan hasil
guna dan daya guna zakat.
Dalam Bab III
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat
terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (Pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat
(Pasal 7). Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan pula
bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau
mencatat tidak dengan benar zakat, infaq, sedekah, hibah, wasiat, warits, dan
kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12, dan pasal 11
undang-undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga
bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta
rupiah).
Sanksi ini tentu
dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat
yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya
masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakatnya kepada lembaga
pengelola zakat.
Kelemahan di atas yang
dianggap sebagai faktor penyebab belum maksimalnya pendayagunaan zakat di tanah
air pada akhirnya memunculkan pemikiran bahwa ke depan perlu dilakukan revisi
Undang-Undang No. 38 tahun 1999 yang semangatnya ingin melibatkan pemerintah
lebih jauh. Meskipun di masyarakat masih terdapat pro dan kontra.
E. Antara
Zakat dan Pajak
Dengan menggunakan
paradigma bahwa zakat tidak sama dengan zakat, para ulama kemudian membolehkan
umat Islam untuk membayar pajak di samping kewajiban untuk membayar zakat.[10] Ketentuan
zakat yang statis menyebabkan tidak memadainya dana zakat untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, dimungkinkan
ditariknya dana dari masyarakat melalui jalur pajak dan sumbangan sukarela
lainnya.
Di Indonesia dengan
dasar Peraturan Pemerintah Nomor 571 dan UU Pajak nomor 17 tahun 2000 tentang
Pajak Penghasilan memungkinkan rabat, yaitu pemotongan pajak penghasilan bagi
mereka yang telah membayar zakat. Walaupun belum sesempurna dibanding
Undang-Undang Pajak dan Zakat yang ada di Malaysia misalnya atau negara
Islam lainnya yang sudah maju. Hal mendasar yang amat diperlukan dalam rangka
implementasinya adalah sebuah model penerapan pajak dan zakat yang baku,
karena UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat masih belum
maksimal dan terdapat kelemahan di dalamnya, di antaranya tidak ada cara
penghitungan yang baku di samping beberapa kelemahan lainnya yang telah
uraikan sebelumnya.
F.
Pengelolaan Zakat : Kontroversi antara Kebijakan Fiskal dan Partisipatif
Dalam perkembangan
mutahir di tanah air terkait dengan rencana untuk melakukan revisi Undang-Undang
Pengelolaan Zakat, ditengah derasnya dukungan untuk menjadikan zakat sebagai
instrumen kebijakan fiskal di satu sisi, namun di sisi lain berkembang juga
wacana untuk mempertahankan model manajemen zakat yang partisipatif.
1. Model Partisipatif
Dalam model ini,
menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai regulator, motivator dan pengayom
lembaga zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Artinya Lembaga Amil Zakat sebagai
kekuatan partisipasi rakyat jangan dinegarakan. Alasannya :
Pertama, LAZ selama
ini telah berhasil mempopulerkan zakat dan memperoleh kepercayaan masyarakat.
Meskipun diakui masih banyak yang belum efektif dalam menghimpun dan
menyalurkan zakat. Disebabkan karena kelemahan mendasar seperti rendahnya
kualitas SDM-nya, kapasitas organisasi dan dan manajerial masih lemah, serta
belum melembaganya pertanggungjawaban publik yang standar.
Kedua, bila birokrasi
kuat, organisasi pengelola zakat yang didirikan oleh pemerintah cenderung
menguat. Sebaliknya saat birokrasi mengalami delegetimasi, ia pun
cenderung melemah, karena lazimnya kepercayaan rakyat terhadapnya juga merosot.
Ketiga, era reformasi
dan demokratisasi ditandai dengan menguatan peran masyarakat sipil dalam
pembangunan nasional. Salah satunya dapat dilakukan oleh LAZ dalam pengelolaan aset
umat jauh sebelum lahirnya UU 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Kepercayaan masyarakat kepada LAZ menunjukkan adanya penguatan peran dan
tanggung jawab sosial masyarakat sipil yang sesuai dengan konteks Indonesia
sekarang. Pemerintah dalam konteks ini perlu membuka ruang partisipasi publik
untuk turut mengeleminasi masalah kemiskinan. Di sini semangatnya pemerintah
menempatkan diri sebagai wasit, pengayom, dan motivator dan menyediakan piranti
yang kondusif bagi penguatan masyarakat sipil. Tidak dikehendaki negara menjadi
pelaku semua urusan, pengambil alih kreativitas publik.
2. Model Strategi
Fiskal
Dalam model ini,
semangatnya menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai operator atau
pelaksana. Alasannya :
Pertama, pemungutan
zakat dapat dipaksakan berdasarkan Qur’an Surah At-Taubah : 103. Padahal
satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti
itu adalah negara lewat perangkat pemerintahan seperti halnya pajak. Apabila
hal ini disepakati maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara.
Kedua, potensi
zakat yang dikumpulkan dari masyarakat amat besar. Menurut hasil penelitian
Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005
mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia
mencapai 19,3 trilyun pertahun. [11]
Pada kenyataannya,
dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang
sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan
oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat hanya beberapa puluh milyar saja. Itupun
sudah bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu
akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara
melalui depertemen teknis pelaksana.
Ketiga, zakat
mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional.
Dana zakat yang besar sangat potensial untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan
nasional. Potensi zakat yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat yang
jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana pembangunan nasional
tersebut.
Keempat, memberikan
kontrol kepada pengelola negara yang masih digerogoti penyalahgunaan uang
negara (korupsi). Penyalahgunaan ini disebabkan krisis iman, yang tidak tahan
menghadapi godaan untuk korupsi. Masuknya zakat ke dalam perbendaharaan negara
diharapkan akan menyadarkan, bahwa diantara uang yang dikorupsi itu terdapat
dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi. Petugas zakat juga tidak mudah
disuap dan wajib zakat juga tidak akan main-main dalam menghitung zakatnya
serta tidak ada tawar-menawar dengan petugas zakat sebagaimana kerap
terjadi dalam kasus pemungutan pajak.
G. Penutup
Sehubungan dengan
pembahasan di atas, ada beberapa catatan yang menurut penulis perlu menjadi
perhatian :
Sebagai muslim kita
tentu menginginkan zakat sebagai potensi yang besar memiliki peran yang besar
pula di negara kita, dan hal itu tidak lepas dari upaya untuk meningkatkan
kesadaran zakat di kalangan masyarakat kita, dan hal yang terpenting
adalah political will pemerintah terhadap pengelolaan zakat pada
level negara. Peran negara di sini menjadi sangat penting untuk memaksimalkan
tujuan esensial yang hendak dicapai melalui zakat.
Terhadap adanya
keberatan untuk upaya menegarakan administrasi zakat ini sebenarnya dapat
dijelaskan. Hal tersebut antara lain karena sudah terlalu lamanya zakat
terpisah dari sistem negara dan menjadi urusan masing-masing pribadi
muslim. Mengembalikannya ke dalam suatu sistem negara tentu bukan pekerjaan
yang mudah, melainkan perlu upaya untuk mendekatkan pemahaman dari
kalangan yang memiliki cara pandang berbeda.
Ada baiknya sebelum
zakat menjadi instrumen kebijakan keuangan negara, penyelenggara negara
memantapkan performannya sebagai clean government dengan menuntaskan
kasus-kasus keuangan negara. Dengan demikian diharapkan kepercayaan masyarakat
terbangun dan pada gilirannya akan dapat memaksimalkan potensi zakat sesuai
harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar